Vaksin merupakan antigen (mikroorganisma) yang diinaktivasi atau dilemahkan yang bila diberikan kepada orang yang sehat akan menimbulkan antibodi spesifik terhadap mikroorganisma tersebut sehingga bila kemudian dia terpapar, akan kebal dan tidak sakit.Dengan demikian bahan dasar membuat vaksin tentu memerlukan mikroorganisma baik virus maupun bakteri. Menumbuhkan mikroorganisma memerlukan media tumbuh yang disimpan pada suhu tertentu.
Mirkroorganisma yang tumbuh kemudian akan dipanen, diinaktivasi, dimurnikan, diformulasi dan kemudian dikemas. Rangkaian proses pembuatan vaksin berada dibawah regulasi cara pembuatan obat yang baik (CPOB) yang juga dikenal sebagai Good Manufacturing Practice (GMP) sehingga produk akan terjaga dalam kualitas yang baik. Setiap lot yang diproduksi harus lulus pengujian mutu (Quality Control), dan jaminan mutu (Quality Assurance). Setiap lot produk yang dihasilkan akan dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk kemudian diperiksa dan bila sudah lulus, BPOM akan mengeluarkan sertifikat lulus uji untuk setiap lot vaksin. Dengan demikian dapat dilihat bagaimana setiap lot yang dihasilkan sangat terjaga kualitasnya.
CLINICAL TRIAL
Vaksin baru yang digunakan oleh masyarakat sudah melalui proses tahapan uji klinik, sebelum vaksin dipasarkan, sudah melewati uji klinik, fase 1, fase 2 sampai fase 3, setelah vaksin di registrasi di Badan POM untuk mendapatkan ijin edar, setelah produk dipasarkan, akan dilakukan Post Marketing Surveillance (PMS), yaitu untuk melihat imunitas atau kekebalan yang terbentuk di masyarakat, setelah dilakukan imunisasi dan keamanan vaksin sehingga diketahui efektivitas & kualitas vaksin tersebut.
Uji Klinis Vaksin
Membuat vaksin jenis baru bukanlah hal yang mudah. Mulai dari riset beban penyakit, hingga menemukan bibit mikroorganisma yang baik dan formulasinya dapat memakan waktu 12 tahun. Setiap tahap pengembangan ini senantiasa harus dalam tatanan cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Sistem CPOB dan dokumentasi harus terimplementasi dengan baik. Riset yang lama dikarenakan bahwa bibit yang dipakai nantinya harus terbukti mempunyai karakter yang aman dan imunogenik.
Bio Farma mengambil kebijakan untuk pengembangan produk baru mengimplementasikan free animal origin (bebas unsur hewani), artinya bebas bahan berasal hewan. Setelah melalui tahap uji di laboratorium, kemudian uji preklinis pada hewan, dan bila terbukti berpotensi dan aman, baru vaksin tersebut memasuki tahap uji klinis.
Uji klinis adalah uji yang dilakukan pada manusia untuk mengevaluasi bahwa suatu obat atau vaksin mempunyai manfaat dan aman atau mempunyai efek samping yang bisa ditoleransi. Uji klinis terbagi dalam 3 tahap; fase I, II dan III. Fase I biasanya dilakukan pada orang dewasa, untuk melihat efek yang dihasilkan oleh vaksin pada orang dewasa. Semua reaksi yang timbul dicatat dengan detail, juga dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk melihat fungsi hati, ginjal dan atau organ tubuh lainnya. Pada fase I ini biasanya melibatkan jumlah orang yang sedikit. Bila hasil fase I menunjukkan bahwa vaksin tidak memberikan efek yang berbahaya, studi dilanjutkan ke fase II. Fase II dilakukan pada populasi target vaksin itu diberikan misalnya bayi. Selain keamanan vaksin juga dilihat respon antibodi yang dihasilkan. Vaksin yang baik dikatakan dapat melindungi setidaknya 80% dari total penerima vaksin. Antibodi yang terbentuk pada subjek uji klinis dibandingkan sebelum dan setelah imunisasi.
SIKLUS PENGEMBANGAN VAKSIN
Kegiatan Riset merupakan dasar dari pengembangan suatu produk. Kegiatan riset dimulai dengan tahap exploratory dimana dilakukan pengkajian terhadap pola suatu penyakit yang menjadi sasaran penelitian serta pemahaman. Identifikasi molekul/antigen yang akan menjadi bakal calon produk serta metode untuk menghasilkan/memurnikan antigen merupakan hal-hal yang kritis dalam pengembangan produk selanjutnya disamping perlunya informasi riwayat seed serta bahan baku yang terdokumentasi. Output dari kegiatan riset ini adalah pembuktian Proof of Concept.