Produknya Bagus, Sayang Penulisannya Salah…
Membaca dan menulis membuat kita tidak akan pernah bisa lepas dari kaidah penulisan. Kaidah penulisan menjadi penting ketika kita memilih melandaskan penulisan diatas cara berpikir. Artinya kita berpikir dalam menulis, dan menulis dengan berpikir. Tentu dalam hal ini adalah berpikir tentang kaidah. Dan kaidah disini tentu adalah kaidah bahasa dalam hal ini EYD.
Berbeda dengan menulis, membaca cenderung membuat kita berpikir. Berpikir untuk bingung, berpikir untuk berkomentar, atau berpikir untuk kita introspeksi agar kita tidak melakukan hal yang sama saat menulis, atau berpikir bahwa kita telah turut melakukan sebuah kesalahan yang sama pada tulisan kita terdahulu.
Yang tak boleh dilupakan lagi adalah, bahwa di era belakangan ini dalam penulisan pun terbelah menjadi dua pemahaman. Aliran pertama adalah aliran berlandaskan EYD, dan kedua adalah aliran yang mulai melakukan inkulturasi dengan kebiasaan masyarakat. Inkulturasi dengan kebiasaan yang saya maksudkan disini adalah kesalahan yang akhirnya dianggap lumrah dan boleh jadi dianggap menjadi kebenaran baru.
Contoh : kata “Silahkan”, coba saja ketika anda menemukan kata SILAHKAN. Saya yakin banyak yang tidak sadar bahwa penulisan yang benar adalah “silakan”. Salah satu sebabnya mungkin karena kita sudah terlalu sering menemukan kata silahkan.
Produknya bagus, sayang penulisannya salah
dijual atau di jual?
di wakili atau diwakili?
dimakamkan atau di makamkan?
dilarang atau di larang?
Sedemikian sulitnya rupanya. Memang ini kondisi yang ironi, memprihatinkan dan sangat menggemaskan. Setidaknya saya menemui ini tidak sekali dua kali. Penulisan imbuhan di yang tidak tepat terjadi di banyak tempat dan banyak aplikasi. Saya yang sedikit mengenal desain grafis terkadang merasa miris. Dalam sebuah pemesanan barang biasanya kan ada proses approval dari pelanggan. Dan ketika sesuatu itu jadi dan tayang, berarti telah terjadi akad saling memberi dan menerima antara pemesan dan pembuat.
Anda tentu pernah melihat ada tulisan “di” atau dipisah dengan tidak semestinya ; yang seharusnya disambung malah dipisah, yang mestinya dipisah malah disambung. Mungkin kelihatannya hal kecil, tapi bikin risih, banyak yang nggak bisa membedakan antara “di” sebagai awalan atau kata depan. Mungkin antara bingung, nggak tahu, atau memang nggak peduli. Ironisnya, ini banyak sekali saya jumpai.
Untuk soal “di” dipisah/disambung ini saya sangat hati-hati. Saya merasa bertanggung jawab terhadap apa yang saya tulis dan apa yang saya buat. Khususnya dalam kaitannya dengan penulisan (narasi saat menulis) dan kaitannya dengan kerja saya sebagai desain grafis. Hafalan saya “Kalau sebagai awalan, disambung. Kalau sebagai kata depan, dipisah”
- Semua kata (yang diikuti ”di”) yang TIDAK BISA DIUBAH menjadi kata untuk kalimat aktif, itu berarti ”di” yang mengikutinya merupakan ”KATA DEPAN” dan dalam penggunaannya DIPISAH dengan kata yang diikutinya.
- Semua kata (yang diikuti ”di”) yang BISA DIUBAH menjadi kata untuk kalimat aktif, itu berarti ”di” yang mengikutinya merupakan ”IMBUHAN” dan dalam penggunaannya DIGABUNG dengan kata yang diikutinya (dijual, diwakili, dimakamkan, dilarang)
- Digabung bukan di gabung, dipalu berbeda dengan di palu, disingkat, bukan di singkat, diubah, bukan di ubah apalagi di rubah. dikontrakkan, disewakan bukan DI KONTRAKKAN ATAU DI SEWAKAN. Ditetapkan, bukan DI TETAPKAN. Disusun, bukan DI SUSUN.
Menulis tidak berarti harus kaku, tapi mengikuti kaidah EYD akan membuat karya kita lebih baik dan bernilai.
Jadual ataukah Jadwal
Menurut Badan Bahasa Kemdikbud yang benar adalah jadwal, bukan jadual
Ini juga menarik, saya masih berulang menemukan kata jadual dalam hidup saya. Terutama yang bersinggungan dengan akreditasi. Karena saya cukup banyak berhadapan dengan produk yang harus saya berikan secara benar (menurut kaidah), saya mencoba mencari seken opinion dari mereka-mereka yang terbiasa menyebutkan kata jadwal dengan jadual. Dan menurut sumber yang saya percaya http://badanbahasa.kemdikbud.go.id penjelasannya adalah seperti ini :
- jadual keberangkatan
- jadual pelajaran
- jadual pertunjukkan
- jadual permainan
- jadual kegiatan
Penulisan kata jadual pada contoh di atas tidaklah benar. Kata jadual dengan (u) hendaknya dituliskan dengan jadwal dengan (w) karena di dalam bahasa asalnya, kata itu dituliskan [½ vj. Huruf ½ pada kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi (w) bukan (u). Dengan demikian, contoh di atas seharusnya dituliskan sebagai berikut.
- jadwal keberangkatan
- jadwal pelajaran
- jadwal pertunjukkan
- jadwal permainan
- jadwal kegiatan
Penulisan kata jadual dengan (u) di atas tampaknya beranalogi pada kata seperti kualitas dan kuantitas. Penulisan kedua kata terakhir itu sudah tepat karena huruf (u) pada keduanya memang berasal dari (u) dalam bahasa aslinya, yakni quality dan quantity. Jika ada penulisan kwalitas dan kwantitas, penulisan itu justru tidak benar.
Selain kata jadwal, ada kosakata lain yang berasal dari bahasa Arab yang setipe dengan itu, seperti berikut:
- takwa bukan *takua
- fatwa bukan *fatua
- kahwa bukan *kahua
Akan tetapi, perhatikan kata-kata berikut yang seharusnya ditulis dengan (ua)
- aurat bukan *awrat
- taurat bukan *tawrat
- kaum bukan *kawum
Jangan ketularan alay
Ketika alay menjadi falsafah penulisan maka yang terjadi kata “puskesmas” akan menjadi “PusKesMas”. Ketika bahasa SMS/Whatsap kita bawa dalam penulisan baku, maka yang kita temukan adalah nama tempat yang disingkat. Contoh : Pkm Lb Bajo (siapa yang tahu kalo Lb adalah singkatan dari labuan?), membuat akun dengan nama Puskesmas BR, Pusk Sb Wrs (ini kalo disearching tidak akan ketemu, kasihan yang nyari)
Sekali lagi, menulis tidak berarti harus kaku, tapi mengikuti kaidah EYD akan membuat karya kita lebih baik dan bernilai.
Begitulah bahasa, seninya tiada akhir…