Mengenal Pola Distribusi Vaksin Palsu
Membeli vaksin murah dan tidak pada jalur semestinya, adalah sebuah tindakan sadar,dan mendapatkan vaksin palsu adalah resiko
Sekelumit tentang vaksin
Vaksinasi dilakukan sebagai tindakan pencegahan penyakit baik pada penyakit inveksi virus maupun bakteri. Ada lima paket vaksinasi lengkap untuk anak sesuai dengan program imunisasi nasional dari pemerintah meliputi BCG, DPT, folio, campak dan hepatitis B. Anak yang mendapat vaksinasi diharapkan akan mempunyai daya tahan lebih kuat untuk melawan suatu penyakit dibandingkan anak yang tidak divaksin.
Vaksin diproduksi oleh Biofarma sebagai satu-satunya BUMN yang memproduksi vaksin dan antisera (misalnya ATS : anti tetanus serum, ABU : Anti bisa ular). Ada beberapa tahapan pokok dalam produksi vaksin yakni : penyiapan benih virus, penumbuhan dan pemisahan strain virus.
Proses distribusi vaksin secara garis besar dibagi menjadi dua yakni melalui 1. jalur pemerintah dan 2. Jalur swasta : meliputi distribusi ke RS Swasta/klinik/praktek dokter. Adapun distributor yang mendistribusikan vaksin tersebut adalah PT. AAM (Anugrah Argon Medika). Beberapa produk serum juga didistribusikan oleh Pedagang Besar Farmasi (PBF) lain seperti PT. Merapi, namun mengenai antisera tidak kita bicarakan disini. Selama vaksin diperoleh dari jalur tersebut, pemerintah menjamin keaslian vaksin dan keamanan vaksin. Sampai disini saya kira uraian saya sudah cukup lugas dan mudah dimengerti.
Fakta yang terlupakan dalam kasus vaksin palsu
Pertama, (diluar tersangka tenaga kesehatan) tersangka dari penyedia barang atau distributor (sesuai dengan hasil penyidikan polisi) adalah CV. Azka Medical dengan modus mengajukan proposal penawaran kepada dokter atau manajemen rumah sakit dengan iming-iming diskon yang besar. Ironisnya, ada sebuah RS yang telah melakukan ini sejak tahun 2011. Dalam dunia bisnis farmasi, siapa yang tidak mengenal discount dalam pembelian “barang”, obat, vaksin, alat kesehatan dan sejenisnya. Bahkan beragam istilah mulai dari discount COD yang diberikan biasanya 1 – 2 % jika pembelian dibayar langsung (lunas). Lalu ada discount on faktur, yang dicantumkan pada faktur pembelian, lalu ada discount off faktur yakni discount yang tidak dicantumkan dalam pembelian. Banyak pejabat pengadaan RS, bahkan sampai direktur RS yang terjerat kasus oleh BPK dan masuk penjara gara-gara discount off faktur ini. Ini adalah realitas kecil yang ada di dunia bisnis kesehatan.
Kedua, terdapat aturan yang lugas dari Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian bahwa penanggung jawab pengadaan obat dari hulu ke hilir, dari produksi, distribusi sampai ke tangan user dalam hal ini adalah apoteker. Apoteker sendiri adalah profesi. Ini yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Hal penting yang wajib kita mengerti adalah :
- Apoteker adalah mereka yang telah menyelesaikan studi (lulus) jenjang studi strata 1 (sarjana farmasi) dengan lama studi kira-kira 4-5 tahun.
- Apoteker adalah sarjana farmasi yang kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang profesi yakni profesi apoteker (dengan lama studi 1 tahun)
Masih dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 51/2009, apoteker adalah profesi yang berwenang dalam pelayanan kefarmasian dengan lingkup pekerjaan meliputi :
- Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
- Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi;
- Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
- Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi.
Ketiga, masyarakat beramai-ramai menyalahkan Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM dan Kemenkes sebagai pengendali regulasi dianggap lalai dengan adanya kasus vaksin palsu ini.
Mari berpikir logis dan membangun logika sederhana
Pertama, ada perbuatan yang dilanggar dari RS dengan membeli vaksin dari sumber yang tidak resmi. Secara logika, pembelian adalah sebuah tindakan yang dilakukan secara sadar. Mengenai dokter tidak tahu bahwa vaksin tersebut adalah palsu : PASTI, PASTI DOKTER TIDAK TAHU. Saya yakin nurani dokter yang bekerja dengan sumpah profesi tidak akan memberikan sesuatu yang palsu dan pastinya membahayakan pasiennya. Namun tindakan membeli vaksin dengan diskon yang melebihi kewajaran apalagi dari sumber yang tidak resmi, seharusnya mampu memantik insting seorang profesional : ini asli atau tidak? Sekali lagi membeli adalah sebuah kesadaran, asli atau palsu adalah resiko yang harus ditanggung dari sebuah tindakan (membeli murah, dari jalur tidak resmi)
Kedua, tidak disebutkan adanya profesi apoteker dalam rilis data tersangka dari pihak kepolisian. Yang lebih saya sorot adalah tersangka dari apoteker pihak rumah sakit/klinik. Logikanya, hal ini patut untuk diduga bahwa pengadaan juga tidak melibatkan instalasi farmasi. Artinya pengadaan ini melanggar prosedur dan regulasi dari pemerintah yang seharusnya dilakukan yakni PP. 51/2009 dan UU No 36/2014. Yang lebih jelas lagi bahkan beberapa media online seperti tribunnews dan sindonews.com memberitakan bahwa beberapa pasien membayar langsung kepada susternya (tidak jelas yang disebut dengan suster ini apakah perawat atau bidan). Sampai disini tidakkah kita dapat lebih melihat masalah ini dengan lebih terang?? Tidak adakah tenaga kesehatan yang rela untuk tidak mengaku menjadi korban dan mencari kambing hitam??
Ketiga, BPOM dan Kemenkes dalam hal ini juga tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Peredaran uang palsu itu juga bukan berarti BI dan Menkeu lalai dalam menjalankan tugasnya. Adanya maling tidak berarti polisinya lalai dalam menjalankan tugasnya. Dan dalam kasus seperti ini, apalagi ketika ada barang yang secara sadar masuk kategori “abu-abu”, pelaku pasti dengan sangat mudah menyembunyikan pada saat ada inspeksi baik dari BPOM, Dinas Kesehatan maupun Kemenkes. Jika kita lihat secara obyektif lagi, BPOM juga selalu membuka ruang terhadap pelaporan masyarakat termasuk tenaga kesehatan terhadap produk yang diduga palsu ataupun bermasalah dalam hal ijin edar. Dalam hal BPOM, masyarakat banyak yang salah paham dan menganggap bahwa pengawasan vaksin di RS adalah wewenang BPOM. Padahal secara regulasi BPOM tidak berwenang melakukan pengawasan vaksin ke RS dan kewenangan pengawasannya ada pada Kemenkes yang dalam hal ini dilakukan melalui Dinas Kesehatan Kab/Kota
Dampak vaksin palsu.
Vaksin palsu jelas dan pasti tidak diproduksi sesuai standar CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) maupun GMP (Good Manufacturing Practice). Tidak ada proses yang melibatkan alat produksi dan tenaga kefarmasian yang kompeten dalam memproduksi vaksin palsu. Sudah pasti produk yang dihasilkan akan mengabaikan aspek steril dan bebas pirogen. Dampak yang langsung diterima adalah munculnya demam yang lebih dari efek demam pada anak setelah divaksin. Dampak politis yang lebih besar yang bisa ditimbulkan tentu akan menjadi bumerang bagi penggalakan program imunisasi/vaksinasi yang digalakkan oleh pemerintah.
Masalah distribusi dan tumpang tindih kewenangan
Hendaknya pemerintah kembali memperbaiki kacaunya jalur distribusi obat (tidak hanya pada vaksin). Penguatan BPOM juga sangat dibutuhkan agar pengawasan peredaran vaksin dapat lebih maksimal serta mata rantai distribusi obat ilegal lebih dapat dipersempit. Selain itu hendaknya pemerintah lebih membuka ruang terhadap kewenangan tiap-tiap profesi dan tenaga kesehatan untuk dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Dalam masalah vaksin palsu ini, realitas sesuai dengan hasil penyidikan polisi menunjukkan (sesuai bukti penyidikan) telah menunjukkan bahwa oknum dokter membawa/memiliki sendiri vaksin yang didapat bukan dari instalasi farmasi atau vaksin yang digunakan bukan dari RS.
Sebagai penutup, semoga media turut membesarkan negeri ini dengan pemberitaan yang lebih obyektif dan mendinginkan. Saya cukup kaget dengan media sekaliber Metro TV yang memberitakan tentang keterlibatan apoteker sebagai produsen vaksin palsu. Memang hal ini bisa terjadi akibat ketidak pahaman dan ketidakprofesionalan Metro TV dalam memahami substansi permasalahan, ketidak pahaman dengan apoteker sebagai profesi kesehatan dengan memberitakan sebuah berita yang bertentangan dengan fakta dan merugikan profesi apoteker. Semoga
Follow us on social media