Antara Aku, Kau, dan ASN Tenaga Kesehatan

Di sela gerimis suatu sore, datang ke rumah tiga orang berseragam. Masih terlihat semangatnya, entah sebuah semangat pengabdian ataukah semangat menyelesaikan pekerjaan agar beban kerja esok setidaknya bias terkurangi. 

Raut wajah tidak terlalu bersih, mungkin sudah sewajarnya ketika jam saat itu memang sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Aku masih familier dengan wajahnya, meski aku lupa siapa namanya, mereka petugas kesehatan (selanjutnya aku menyebutnya tenaga kesehatan) yang datang bersama dengan seorang kader, warga dekat rumah yang sudah kukenal dengan baik.

Singkat setelah memperkenalkan diri, mereka mulai melakukan pendataan, memeriksa tekanan darah, menanyakan apakah ada keluarga yang menderita gangguan jiwa, TBC, apakah ada yang merokok di dalam rumah dan beberapa pertanyaan yang kuingat ada dua belas item.

Ditutup dengan melihat jamban, memeriksa jentik di tempat-tempat penampungan air. Konon ini bagian dari amanat pemerintah dalam hal ini secara integral dibawah Kementerian Kesehatan RI, menjalankan bagian dari nawa cita katanya. Dan katanya ini dilaksanakan di seluruh Indonesia.Awalnya kupikir mereka datang membawa bantuan. Ternyata tidak. Hehehe.

Heran juga aku, mengerjakan hal-hal seperti itu, yang tidak popular sama sekali di mataku waktu itu. Di sini masih lumayan, bagaimana dengan yang di tempat lain yang secara geografis lebih berat daripada tempat ini. Hanya mengumpulkan data yang mungkin nantinya akan menjadi pijakan pemerintah dalam mebuat sebuah kebijakan nasional tentang kesehatan. Tentang bahaya merokok, apalagi didalam rumah, menscreening penderita-penderita hipertensi yang tidak tertangkap oleh radar. Apa ada?

Ternyata banyak, hanya saja mereka tidak tahu jika mereka menderita hipertensi. Mencari penderita-penderita gangguan jiwa yang masih dalam pemasungan (pemasungan melanggar HAM secara konsensi internasional), menemukan penderita-penderita TBC, berkunjung dari rumah kerumah melihat potret kemiskinan dari jarak yang tidak lagi berjarak. Tidak seperti mereka yang selalu berjarak dengan rakyat kecil, menjauh dikala menjabat, mendekat di jelang injury time tahun-tahun politik.

Saya tertarik untuk sedikit ”menghambat” perjalanan mereka, dan berbicara panjang lebar tentang dunia kesehatan di layanan kesehatan dasar atau yang disebut puskesmas. Sebagian orang mungkin menganggapnya remeh. Bahkan sda yang memplesetkan menjadi pusing-kesel-masuk angin. Puskesmas yang di mind set saya adalah pelayanan kuratif (pengobatan).

Obrolan saya menjadikan saya lebih paham dan lebih bias melihat dari sudut pandang mereka. Bahwa puskesmas seharusnya lebih cenderung kearah kesehatan masyarakat (promotif) dan bukan kea rah pengobatan individu (kuratif).

Jika anda mengantarkan orang sakit demam berdarah ke rumah sakit, baru mau masuk pintu gerbang ternyata pasiennya meninggal, ya sudah. Tidak ada permasalahan dengan rumah sakit. Tapi ketika di ujung desa di wilayah kerja puskesmas ada pasien meninggal karena demam berdarah. Itu masalah besar buat puskesmas.

Penasaran saya tanyakan apa saja yang mereka lakukan, Banyak, memang mereka tidak termasuk dalam ASN yang konon mengamankan APBN, menjaga keuangan, menghasilkan pemasukan Negara menjadi maksimal.

Mereka mengamankan masyarakat di level primer, menjaga negeri ini dari ancaman stunting akibat tidak baiknya gizi di 1000 hari pertama kehidupan, mengamankan para lansia agar sehat sampai akhir hayat, terhindar dari stroke dengan merawat tensinya, terjaga kadar gulanya jika mereka diabetes, membekali generasi bangsa dengan vaksinasi dan imunisasi, menciptakan system pelayanan kesehatan yang standar sesuai dengan standar akreditasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Meskipun mereka harus berjibaku bahkan hingga larut malam, membawa pekerjaan pulang hingga mengacuhkan keluarga.


Ads By Syafana


Resiko pekerjaan, LDR dan hilangnya canda tawa dengan keluarga

Aku jadi ingat, aku pernah kenal dengan seorang ASN yang tanggal gigi bagian depannya full. Pak Suryaman Dally. Dan beliau tidak memasang gigi palsu. Aku pun sempat menanyakan kok tidak pasang gigi palsu biar keliahatan lebih ganteng?

”Tanpa gigi palsu saya masih ganteng mas… Buat kenang-kenangan mas, gigi ini tanggal pas saya jatuh waktu tugas ke tempat panjenengan (baca:anda)” kata beliau waktu itu.

Masih di wilayah kerja puskesmas tempat tinggalku, pernah ada mobil puskesmas keliling terbalik dan hampir masuk jurang. Alhamdulillah semua penumpang selamat. Dan pembicaraan kami pun melebar ke resiko pekerjaan.

Aku pun berpikir, ini baru wilayahku. Bagaimana dengan wilayah-wilayah lain seperti Papua, pedalaman Kalimantan, Bagaimana dengan kerja teman-teman tenaga kesehatan Kepulauan Yapen, di Talaud yang berbatasan langsung dengan Philipina, di Simeulue Aceh, di Lampung Selatan, dan daerah-daerah yang notabene secara geografis tentu lebih  ekstrem dan membahayakan secara resiko. Dan menurut saya sekali lagi sama sekali tanpa popularitas,  tanpa sensasi dan tanpa ungkit pamrih.

Berapa banyak tenaga kesehatan yang menjalani LDR dalam program Nusantara Sehat, meninggalkan keluarga tanpa ungkit dan keluh. Semua mungkin karena niat dan tekad. Niat mencari pekerjaan, niat mengabdi kepada negara dan masyarakat. Mereka bekerja di hari Sabtu, di waktu yang ketika ada libur berjajar ada istilah long weekend, tidak ada bagi tenaga kesehatan.

Puskesmas adalah canda tawa mereka, kawan adalah keluarga mereka. Mereka tidak akrab dengan cabin pesawat. Tidak dekat dengan makanan cepat saji, swalayan, mall, apalagi hotel-hotel berbintang.

Tidak… mereka menikmati perjamuan-demi perjamuan di keheningan balai dusun, di senyap rumah warga. Dari rumah ke rumah, selfie dari jamban ke jamban hanya sekedar mengais data bahwa masyarakat telah mendapatkan akses jamban sehat.

Dan sekali lagi hanya bermodalkan tekad, dengan fasilitas milik pribadi, menembus belantara demi sebuah tugas yang mungkin bagi sebagaian orang bukanlah termasuk dalam kategori tugas suci.

Mereka para para traveler yang suka menghabiskan liburan ke Jogja, menghabiskan long weekend mereka bersama keluarganya, mungkin tidak asing dengan obyek wisata Kalibiru. Kalibiru itu wilayah terjamah dari sebagian wilayah kerja tenaga kesehatan di Puskesmas Kokap. Atau Anda mungkin pernah terkesan dengan Kebun Teh Nglinggo?? Ya… itu juga merupakan bagian terjamah dari wilayah kerja Puskesmas Samigaluh.

Hanya sebagian kecil dan bisa terakses. Itu pun Anda sudah bilang jalannya ngeri. Kedung Pedut, Kembang Soka, Itu baru sebagian keciiiil sekali dari jelajahan tenaga kesehatan di Puskesmas Girimulyo II. Mereka menembus terjal Sokomoyo, Sumberejo, Sonya, Pringtali, Kedung Tawang, bukan sebagai traveller. Tanpa pernah mengeluhkan akan LDR, tanpa pernah memperbincangkan akan fasilitas dan apa pemberian negara.

Tidak mengeluhkan sparepart motor yang rusak lebih cepat daripada mereka yang bekerja di wilayah lain. Tidak iri dengan mereka yang wajahnya selalu bersih karena selalu terpapar AC, tidak pernah menengok mereka yang mendapatkan fasilitas secara proporsional dari negara.

Ya iyalaah…

”Negara juga membayar kalian dengan mahal. Ngapain juga mengeluh” (pikirku).

Tidak saudara… Gaji mereka tidak jauh terpaut dengan gaji pekerja bangunan harian. Yaaa mungkin sama dengan mereka yang di Kementerian Keuangan, sama dengan para guru, sama dengan  ASN di Kementerian Agama dan lainnya. Memang benar gaji pokoknya sama sesuai dengan tetapan presiden.

Yang berbeda adalah mereka butuh waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan apa yang diterima  oleh ASN di tempat lain dalam kurun waktu hanya satu bulan. Yang berbeda adalah jumlah nominal yang mereka bawa pulang setiap bulannya.

Mereka di sini adalah ASN Pemerintah Daerah yang pendapatannya setimbang dengan kemampuan bayar pemerintah daerah setempat dalam hal ini APBD. Mereka tidak mendapat insentif yang wah, tidak mendapat remunerasi, tidak ada uang sertifikasi, tidak ada uang lauk-pauk.

Bahkan uang jaga pengganti kopi ketika mereka harus berdinas malam meninggalkan canda tawa dengan anak istri pun belum tentu ada. Belum lagi gaji sebulan yang kadang sudah habis dtukar dengan kontrak pinjaman bank demi sebuah asa, anak sekolah, membangun rumah, membayar kontrakan rumah dan aneka kebutuhan lain yang memang kini faktanya tak cukup lagi dengan kisaran gaji tak lebih dari 150 ribu perhari.

Bahkan ketika sisa waktu sebagian mereka pergunakan untuk melayani masyarakat dengan praktek mandiri dirumah, tidaklah sebuah pekerjaan yang akan mampu mendongkrak kekayaan mereka.

Tidak akan membuat mereka berharta seper seratus dari Gayus Tambunan. Tarif pelayanan kesehatan di praktek swasta mandiri di wilayahku ini tidak lebih mahal dari harga seporsi sate mbah Margo yang legendaris.

Yang anda harus bawa setidaknya uang 30 ribu jika ingin menikmati kekhasan menunya, sebaliknya jika anda ingin periksa ke sarana pelayanan kesehatan mandiri di sini 25 ribu pun cukup.

Akhirnya aku pun menyadari bahwa mereka telah menyadari. Mereka mampu menyatukan filosofi hidup, filosofi ketanpapamrihan, dan pelayanan yang memanusiakan manusia.

Mereka bahkan tidak lagi membedakan antara resiko pekerjaan dengan musibah. Intaian resiko yang sehari-hari mereka lalui dijalan. Resiko yang terjadi adalah musibah, begitu mungkin mereka berpikir, bukan sebaliknya menganggap musibah sebagai bagian dari resiko pekerjaan.

Waktu beranjak petang, obrolan panjang kami berakhir. Kuantarkan mereka berjalan kaki menuju kendaraan mereka yang terparkir cukup jauh dari rumahku yang memang cukup menakutkan untuk dilalui mereka-mereka yang tidak terbiasa.

Sungguh sore yang membuka mataku tentang mereka,  drama mereka yang tidak pernah tersorot kamera media. Bahkan aku pun tak yakin jika mereka-mereka di seberang sana, aku tak yakin mereka memilih puskesmas sebagai tempat berobat.

Mungkin tidak, mungkin karena mereka lebih percaya pada rumah sakit-rumah sakit swasta dengan fasilitas wah, biaya pun sudah tercover asuransi yang mungkin bukan BPJS Kelas III seperti kami. Sehingga  tidak banyak mereka mengenal tenaga kesehatan. Dan membuat mereka tidak bersyukur dengan tempat dimana mereka duduk saat ini.

ASN sebagai “wahyu” dan amanah                                            

Aku pun berpikir, dahulu kala, ketika prajurit, abdi dalem, menjadi bagian dari sebuah sistem kerajaan. Mereka selayaknya telah mendapat ‘wahyu’ sebagai sebuah jabatan yang melekat. Sama halnya  ketika kini seseorang menyandang predikat ASN sebagai sebuah jabatan. Itu juga bisa dikatakan sebagai sebuah ‘wahyu’ yang tidak diturunkan oleh Tuhan pada sembarang orang, tidak bisa dipaksakan.

Walaupun mungkin Anda bisa membelinya dengan harta yang Anda miliki, belumlah tentu Anda dipercaya oleh Tuhan untuk mengemban amanah sebagai ASN, sebagai pelayan masyarakat dalam sebuah sistem pemerintahan.

Dengan modal dasar itu, ASN adalah sebuah amanah sekaligus takdir, yang  takdir itu kini diperebutkan oleh jutaan orang di seluruh Indonesia yang berusaha merangkai sebuah obsesi menjadi ASN. Kelak ketika mereka menjadi ASN semoga mereka mampu menjiwai jiwa-jiwa seperti tenaga kesehatan di wilayah pedalaman.

Karena itu akan mampu membuat mereka lebih bersyukur menjauhkan mereka dari keluh kesah dan selalu merasa kurang ketika sebenarnya negara telah membayar mereka berlebih, bahkan jauh melebihi apa yang mereka berikan kepada negara dan masyarakat.

Semoga.

 

Artikel ini ditulis oleh admin klikfarmasi.net dan telah terbit di kompasiana. 

link sumber disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *